Friday, May 29, 2009

GAY & PROSTITUTE (Pt. 2)

Tidak ada yang paling menjijikkan selain mendengar kabar bahwa orang yang dulu pernah dekat dengan kita sekarang telah menjadi simpanan om-om. Eww...! Well, baru-baru ini penulis mendengar kabar tentang hal tersebut. Menurut sang informan, dia-yang-tidak-boleh-disebutkan-namanya itu sekarang diboyong ke Jakarta oleh gadun tajir. Dijadikan simpanan, disewakan rumah, diberi uang saku tiap bulan, dan sebagai konsekwensinya dia harus melayani sang gadun setiap saat serta tidak boleh berhubungan dengan sembarang orang (terlebih gay) lain kalau tidak mau didamprat. Satu sampai dua minggu, hal tersebut nampak indah seperti mimpi yang jadi kenyataan. Tidak harus bekerja dan biaya hidup ada yang menjamin. Satu bulan selanjutnya, dia pun mulai mengeluh. Mulai dari tidak diperhatikan, terlalu dikekang, sampai merasa diri tak ubahnya seperti pelacur. Wait! You feel like a whore? Honey, you are a whore...

Diakui atau tidak, dunia gay dengan prostitusi (dalan deviasi arti yang sangat luas) erat berkaitan. Entah karena mental kaum gay yang (well, oleh sebagian orang sudah kadung dicap) bobrok, entah karena bisnis prostitusi senantiasa menggiurkan sejak dulu sampai sekarang, atau entah karena faktor desakan ekonomi dan mimpi hidup bergelimang uang dengan cara gampang. Yang jelas, fenomena prostitusi gay ini ada di sekitar kita tentu saja bukan dalam gambaran gay yang menjajaka diri di jalan menunggu pelanggan.

Beberapa gay menjalankan praktek prostitusinya dengan cara meminta pulsa, HP, baju, bahkan peralatan elktronik yang tidak murah semisal laptop kepada partner seksnya yang ia nilai mampu. Ini sudah termasuk biaya jalan-jalan, makan, dan nonton yang secara otomatis ditanggung si empunya duit. Meski tidak ada kesepakatan yang jelas antara mereka berdua, yang jelas praktek tersebut akan mereka ulangi lagi dan lagi sampai salah satu diantara mereka merasa bosan dan menemukan orang lain yang dirasa lebih menjanjikan.

Ada pula gay yang mengatasnamakan komitmen untuk meraup keuntungan. Contohnya seperti tersebtu di opening artikel ini. Seorang gay yang menemukan orang yang cocok (dalam segala hal dan yang terpenting tentu saja segi finansial), merasa perlu memperdalam ikatan antara mereka berdua dengan tinggal serumah, merasa diri sebagai pasangan hidup sehingga ia berhak meminta jatah uang bulanan. Tidak usah bekerja, toh dia berperan sebagai suami rumah tangga yang hanya diam di rumah mengurus rumah dan berbagai keperluan sang suami.

Kelompok gay yang lain adalah mereka yang mempunyai pekerjaan tetap sehingga uang tidak terlalu menjadi masalah. Namun demikian, ketika ada orang yang mau mengeluarkan uang (yang nilainya dirasa cukup lumayan) sebagai ganti seks semalam dengannya, dia pun menerima. Siapa yang tidak butuh duit coba? Toh dia tidak meminta dan kalau ditolak tentu saja akan jadi mubazir. Dia akan menyebut uang tersebut sebagai uang transport atau semacamnya.

Dan yang terakhir, tentu saja kelompok gay yang memang secara terang-terangan menjajakkan diri. Ia tidak akan segan pasang tarif mahal kalau dirasa dirinya memiliki daya jual. Sasarannya tentu saja para gay kesepian yang tidak bisa mendapatkan seks secara gratis baik dikarenakan penampilannya yang tidak terlalu menarik atau dikarenakan dia terlalu antipati terhadap pergaulan dunia gay. Apalagi motif kelompok yang satu ini kalau bukan desakan ekonomi.

Tanpa menyenyudutkan salah satu pihak, penulis berkesimpulan bahwa para brondong (gay belia) lebih berpotensi menjalani prostitusi ini. Sudah menjadi hukum alam bahwa orang yang rela membayar orang lain untuk melakukan seks akan mencari penjaja seks yang muda. Mengapa? Tentu saja para brondong itu dari segi fisik lebih menarik dan membangkitkan gairah. Masalah keahlian di ranjang, jangan sepelekan para junior kita yang satu ini. Meski mereka masih duduk di bangku kuliah atau bahkan SMA, penguasaan teknik bercinta mereka tidak bisa dianggap remeh. Mungkin mereka menjadikan hal ini kegiatan ekstrakulikuler di samping pramuka dan paskibra.

Ya itulah fakta. Sebuah realita yang akan semakin memburamkan citra kaum homo di mata masyarakat.

3 comments:

reallylife said...

barangkali harus ada yang bisa menunjukkan bahwa apapaun jenis pilihan sesksualnya, mereka tetap manusia, ada yang baik, ada yang berkarya dan berprestasi, bener ngga?
nah sekarang tergantung pilihan, mau dan ingin berada di mana
Prostitute tak akan hilang selama ada penawar dan pembeli
bener khan?

Zhou Yu said...

Hmmm, gw pernah ketemu cowok yang lebih tua dan terlihat lebih dewasa dariku. Ternyata, dia juga secara nggak langsung (dan mungkin nggak sadar) juga "menjual" dirinya. Demi sepatu, demi MP3 player, demi CD original, dia mendekatkan diri dengan orang yang sebelumnya pernah dia tolak.... Terjadilah selingkuh..... HuaaaaaaA!

Unknown said...

apapun alasanya cobalah yg udah lebih expert di bidangnya tak salah jk kita ingat apakah akan selama apa kita berjaya jadi kembalilah ke agama kita apakah hal ini di benarkan jd jangan merasa flamboyan gentar lagi kau renta dan mati tdk bergaransi sayang