Tuesday, October 28, 2008

FINDING TRUE LOVE

Apa yang harus dilakukan seorang gay untuk menemukan cinta sejatinya? Apakah cinta sejati itu benar-benar ada dalam dunia gay? Dan apakah ketika kita telah menemukannya dan yakin bahwa he's the one, maka ada jaminan bahwa dia tidak akan pergi dengan berbagai macam alasan? Apakah cinta yang mereka miliki cukup kuat untuk membuat dua orang gay tetap bersama selamanya?

Orang bijak bilang, tidak ada satu yang pasti dalam dunia ini. Karenanya, ketika kita meyakini satu hal akan tetap seperti adanya, maka bersiap-siaplah untuk kecewa ketika suatu saat ia berubah. Mungkin perubahan yang terjadi adalah kecil semata, tapi karena kita berharap terlalu besar maka perubahan tersebut akan meruntuhkan keyakinan kita dan membuat kecewa. Pertanyaanya, apakah salah kita untuk berharap terlalu banya?

Dalam hal percintaan kaum gay, rumus yang sama berlaku serupa. Terkadang kita ragu apakah cinta sejati itu ada. Terkadang kita mencari dengan menghabiskan seluruh waktu dan energi kita karena kita yakin there is one man for one gay and we call it soulmate. Sejuta harap dan impian pun memenuhi imajinasi kita namakala hari demi hari bahagia kita lewati dengan the right man tersebut. Kemudian sesuatu yang tragis terjadi. The right man memutuskan untuk berhenti dari menjadi gay dan secara otomatis menghancurkan dongeng indah yang kita yakini.

Dia bilang masih cinta. Dia bilang masih sayang. Dan dia bilang tidak dapat menghapus nama kita dari hati dan memorinya. Namun demikian dia tetap harus pergi untuk menjalani kehidupan sebagai laki-laki 'normal'. Kalau sudah begini, apa yang harus kita lakukan? Tidak ada. Tidak ada yang dapat kita lakukan selain membiarkan dia pergi sebagai bukti cinta yang kita miliki. Menyakitkan memang, tapi kita tidak punya pilihan. Kita tidak akan menghalangi orang yang kita cintai untuk mengejar kehidupan yang ia yakini kebenarannya, bukan?

Satu mungkin yang dapat kita lakukan ketika melepas kepergiannya. Buat dia berjanji bahwa kita adalah laki-laki terakhir dalam hidupnya. Setelah itu, kita akan menjalani kehidupan terpisah sesuai dengan keyakinan yang kita miliki masing-masing. Melanjutkan hidup untuk mencari cinta sejati yang menunggu untuk kita temukan. Somehow, someday...

PS. Selamat tinggal Aa-ku terayang...

Saturday, October 18, 2008

KETIKA SEORANG GAY MEMUTUSKAN UNTUK MENIKAH

Ketika seorang gay akhirnya memutuskan untuk menikahi seorang perempuan, banyak sekali alasan yang melatarbelakangi keputusan tersebut. Mematuhi keinginan orang tua, menuruti norma sosial serta adat istiadat setempat, tidak sanggup menolak perjodohan dengan wanita yang di mata orang tua dinilai sempurna, meneruskan garis keturunan, serta tidak ingin kalah mempertontonkan kesempurnaan sebagai seorang laki-laki di depan teman kerja, misalnya dan masih banyak lagi alasan artifisial lainnya.

Mengapa kita menyebutnya sebagai alasan artifisial? Kalau mau jujur, pria gay mana yang tidak menikmati kehidupannya sebagai gay selama ini. Mulai dari gonta-ganti teman kencan, tidak adanya tanggung jawab berlebihan manakala kita menjalin sebuah hubungan, tidak harus repot mengurusi tetek bengek birokrasi kekeluargaan sebagai konsekwensi logis pernikahan, serta hidup cuek tanpa tekanan sosial. Hidup pun kemudian dimaknai sebagai sebuah kemeriahan dan petualangan yang seolah tak terbatas.

Ketika kemudian seorang gay memutuskan untuk menikah dengan berbagai alasan seperti disebutkan di atas, apakah dia sudah siap meninggalkan semua kenikmatan yang didapat selama ini untuk digantikan dengan pernikahan yang tidak mungkin tidak terlepas dari problematika? Apakah kemudian setelah menikah akan ada jaminan bahwa dia tidak akan merindukan kehidupan yang dahulu atau bahkan ia tidak terjun lagi ke dalam kehidupan tersebut? Kalau sudah demikian, apakah arti sumpah di depan Tuhan yang ia proklamirkan saat akad pernikahan? Bukankah akan lebih beresiko mengundang permasalahan ketika dia kembali ke dunia setelah menikah dengan seorang perempuan?

Karena itulah, ketika seorang gay menikah, yang pertama kali harus diyakinkan mengenai pernikahan tersebut adalah dirinya sendiri. Sudah siapkan dia mengorbankan semua perasaan yang membuatnya merasa hidup sebagai seorang manusia. Ya, kalau kita masih care degan pendapat dan perasaan orang lain (misal orang tua) lantas, siapa yang akan peduli pada perasaan kita kalau bukan kita sendiri?

Friday, October 17, 2008

5 HAL YANG MEBUAT PRIA STRAIGHT TERLIHAT LEBIH SEKSI DI MATA PRIA GAY

Pernahkah Anda sirik dan sentimen ketika melihat sepasang kekasih (pria tampan tentu saja dan wanita cantik tapi tentu saja tidak menarik) berjalan bergandengan tangan dengan mesra di sebuah pusat perbelanjaan? Yupe, penulis tahu benar apa yang ada di kepala Anda. Anda pasti berandai-andai menjadi kekasih sang pria bukan? Dalam hati pasti berkata, "Pria itu berhak mendapatkan yang lebih baik: AKU!" Nah, pernahkah Anda bertanya mengapa Anda menginginkan pria tersebut? Kalau karena pria tersebut cakep tentu saja setiap gay tidak kuasa menolak daya tarik ketampanan seorang laki-laki. Tapi dalam kasus ini, Anda ingin berada di sampingnya bukan? Ini berarti ketertarikan yang Anda rasakan lebih dari sekadar ketertarikan seksual.

Kalau Anda merasa bahwa pria straight terlihat lebih seksi di mata Anda, well Anda tidak sendirian. Di luar sana, sejumlah gay merasakan hal yang tepat sama seperti yang Anda rasakan. Mengapa mereka (pria straight) terlihat lebih seksi, paling tidak ada 5 alasan.

Pertama, pria straight tidak akan membuat kita il-feel seperti halnya il-feel kita ketika melihat pria gay yang mematut diri berlama-lama di depan cermin. Mulai dari memakai sejumlah body-care kalau tidak bisa disebut sebagai make-up, mix-and-match pakaian, sampai pada pilah dan pilih aksesoris pendukung lainnya. Pria straight ketika akan bepergian dia cukup shaving, mandi, semprot sedikit parfume, rapihkan rambut seadanya, dan menyambar baju yang dirasa enak dipakai dan sesuai dengan ocation-nya. Titik, tidak lebih. Dan hal itulah yang membuatnya terlihat seksi.

Kedua, pria straight apalagi yang telah menikah dan memiliki anak dipandang sebagai sosok pria yang tidak takut dengan komitmen. Sesuatu yang sangat sulit sekali kita dapatkan dari laki-laki gay, bukan? Melihat laki-laki straight peduli dan bertanggung jawab kepada keluarganya mewujudkan fantasi tersendiri mengenai masa depan yang selalu kita impi-impikan.

Ketiga, sebagian pria gay menjadikan pria straight sebagai sasaran penaklukan. Ya, kalau selama ini mereka (pria straight) hanya mengetahui seks dengan perempuan, sebagian kaum gay merasa terpanggil untuk memperluas wawasan pria straight tentang alternatif pilihan seks selain dengan perempuan.

Keempat, pria straight dinilai sebagai sosok pria sejati. Laksana dalam dongeng, ia adalah ksatria baik hati berpakaian perang putih yang siap sedia menerjang segala mara bahaya (baik dari semburan api naga jahat maupun sisir si nenek jahat) dengan tebasan pedang saktinya. Dan kita adalah putri yang terpenjara di menara, menanti diselamatkan oleh sang pangeran. Jujur, pria gay tidak seheroik itu di mata kaum gay sendiri.

Kelima, woman hater! Ya, kebencian kadang dapat meng-counter berbagai macam alasan dan kepentingan. Mungkin sang pria straight tidak menarik-menarik amat. Namun ketika ia digandeng oleh perempuan (dengan tubuh langsing, kulit bersih-halus-mulus, dan beranbut hitam-lurus-panjang) yang kita benci, timbullah keinginan untuk menghancurkan kebahagiaan sang perempuan yang kalau kita pikir dengan otak jernih tidak memiliki dosa sedikitpun pada kita. But it's ok. Kadang kecemburuan tidak harus diukur dengan logika, bukan?

Caution! Kepada pria straight, berhati-hatilah. Anda masuk dalam daftar laki-laki yang harus kami taklukan, one way or another.

Thursday, October 16, 2008

TOO YOUNG TO BE GAY

Kalau dalam dunia gay kita tidak mengenal istilah berhenti, bertaubat,, sembuh, ataupun terlalu tua untuk menjadi gay, apakah ketika seseorang meletek kita mengenal istilah terlalu mudah atau terlalu dini?

Dalam sex-record seorang gay, menjadi orang pertama dalam memberikan pengalaman seksual (baca: meletekin) adalah sesuatu yang bagi sebagian gay dianggap membanggakan dan layak dipamerkan. Karenanya kita mengenal istilah berburu 'berondong' se-'berondong-berondong'nya. Semakin muda usia sang berondong maka semakin tinggi pulalah prestise yang akan didapat seorang gay yang berhasil meletekin 'berondong' tersebut.

Pertanyaannya, apakah ada standarisasi usia minimal seorang 'berondong' yang masuk katagori beleh dipeletekin? Mengingat kita juga mengenal istilah pedofili yang dianggap sebagai sebuah tindakan kriminal. Apakah kemudian seorang seorang gay yang meletekin 'berondong-berondong' belia bisa dikatagorikan pedofil manakala tidak didefinisikan secara jelas mana usia 'berondong' dan mana usia anak-anak.

Seyogyanya, pengalaman seks pertama seorang berondong didasarkan pada kerelaan melakukan tanpa ada sedikitpun unsur paksaan. Bila kriteria ini terpenuhi, sudah hampir dapat dipastikan bahwa pengalaman pertama tersebut akan dikenang sebagai sebuah fase baru dalam menentukan preferensi seksual sang 'berondong' kelak di kemudian hari. Selain itu, proses penerimaan oleh diri sendiri seseorang menjadi gay akan lebih mudah sehingga ia akan dengan sadar memilih dan menikmati gaya hidup homoseksual yang akan dijalankannya kelak.

Berbeda dengan kasus pedofil. Anak-anak korban pedofil sudah hampir dapat dipastikan akan mengalami trauma kejiwaan. Pengalaman seks pertamanya dengan laki-laki akan menjadi mimpi buruk yang akan menghantui sepanjang hidupnya. Mungkin saja ada beberapa korban pedofil ini yang kelak di kemudian hari akan memutuskan menjadi gay. Namun hal ini telah melalui proses yang sulit dan keputusannya tersebut akan dinilai sebagai sebuah trauma, bukan keputusan yang didasarkan pada kerelaan dan kesadaran preferensi seksualnya.

Kalau sudah begini, rasanya kita sebagai kaum gay harus memutuskan kesepakatan berasa usia dini seorang yang telah dikatakan memadai untuk mendapatkan pengalaman seks pertama dengan seorang pria. Berbiacara mengenai hal ini, kita dihadapkan pada sebuah realitas dimana tingkat perkembangan emosional, rasional, dan hormonal tiap anak berbeda. Mungkin saja anak A yang berumur 12 tahun dianggap telah matang secara seksual mengingat stimulus lingkungan sekitarnya yang memang lebih terbuka mengenai seksualitas. Anak seperti ini sudah memasuki tahap eksplorasi seksualitasnya. Karenanya, ketika kita menawarkan pengalaman seks pertama kita tidak akan dicap sebagai pedofil mengingat kedua belah pihak berada di posisi pencari dan pemberi pengalaman pertama. Berbeda halnya denga anak B misalnya yang telah berumur 15 tahun tapi dia masih terisolir dengan informasi seksual. Karenanya ketika kita menjadi pemberi pengalaman seks pertama, kita akan dianggap sebagai penjahat yang telah membawa sang anak pada tahap yang belum semestinya ia masuki. Karenanya sah saja kalau kemudian umum menganggap ini sebagai sebuah tindak kejahatan.

Jadi, bagi Anda yang berniat memberikan pengalaman seks pertama, sebaiknya berhati-hati jangan sampai tindakan tersebut dikatagorikan sebagai tindak kejahatan. Bermainlah secara halus dengan sedikit demi sedikit memberikan informasi dasar seputar seksualitas sesama jenis. Makan waktu memang tapi hal ini akan sebanding dengan sensasi yang akan Anda rasakan.

Tuesday, October 14, 2008

GAY AND THE CITY

Kenapa? Judul artikel tersebut terkesan mencontek serial Sex and the City yang dibintangi Sarah Jessica Parker? Well, siapa sih yang tidak tersihir oleh serial yang satu itu? Terlebih belum lama ini, serial tersebut diangkat ke layar lebar. Demam single and fabolous pun semakin menjadi. Lantas apa maksud penulis mencontek judul serial tersebut pada judul artikel tersebut di atas?

Paling tidak ada tiga alasan. Pertama, serial tersebut bercerita tentang wanita single yang mencari the right man. Dalam perjalanannya kemudian, pencarian tersebut tidak selalu berjalan mululus. Ditinggalkan maupun meninggalkan, diselingkuhi ataupun menyelingkuhi, memohon kembali ataupun dimohon kembali oleh sang kekasih seperti roda berputar yang secara bergiliran kita perankan. Dari perjalanan tersebut, para wanita single - dalam hal ini diwakili oleh sudut pandang Carru Bradsaw - terkadang mengutuk laki-laki tapi pada saat bersamaan mereka rela berkorban apa saja demi laki-laki. Gay mana yang tidak melakukan hal tersebut?

Kedua, seperti judulnya yang tanpa tedeng aling-aling menyebutkan kata seks, kwartet carry cs. tidak harus malu-malu membicarakan seks. Bagi mereka, seks adalah topik yang dapat didiskusikan secara luas, bukan hanya dengan pasangan tapi juga dengan teman curhat. Bukankah kehidupan seks yang baik akan berpengaruh juga pada karier dan kepribadian kita sekarang dan di masa yang akan datang? Gay mana yang tidak memuja seks?

Ketiga, kota New York sebagai latar terjalinnya cerita Carry cs. telah menjelma menjadi karakter tersendiri. Problematika khas kota yang tidak pernah tidur ini seolah menjadi bumbu penyedap tersendiri pada konflik dalam cerita masing-masing tokoh. Sempat digambarkan pula dalam scene akhir film Sex and the City demam kwartet perempuan yang datang ke New York untuk mencari peruntungan dalam hal label and Love. Nah, gay di kota mana di Indonesia ini (atau bahkan di seluruh dunia) yang tidak nge-gank dan berjuang demi cinta dan penghidupan?

jadi, kalau ditanya apakah judul tersebut nyontek serial Sex and the City, maka jawabannya adalah abso-faucking-lutely right. Malah terkadang penulis ketika menuangkan idenya dalam blog ini membayangkan dirinya seolah-oleh sebagai Carry Bradsaw. Jangan kaget pula kalau suatu saat penulis mengeluarkan novel yang tidak jauh dengan serial Sex and the City dalam versi gay. Bukan hanya itu, penulis juga berniat mengeluarkan semacam buku paduan bagi para gay untuk bisa bertahan hidup menghadapi kerasnya dunia homoseksual. We'll see!