Wednesday, April 08, 2009

PRETTY BOYS

Salah seorang kenalan (kali ini bukan gay dan dia adalah seorang wanita) pernah bercerita bahwa beserta sang suami dia mendatangi satu jalan di Ibu Kota yang belum pernah ia lewati sebelumnya di malam hari. Ketika sedang menunggu lampu lalu lintas menyala merah, ia dan sang suami mengamati keramain di pinggir jalan tersebut. Satu hal yang mencolok perhatian adalah sebagian besar orang yang nongkrong atau berlalu lalang di sekitar situ adalah laki-laki. Awalnya dia tidak curiga sedikitpun, namun ketika dilihatnya banyak diantara mereka yang asik berdua bahkan cenderung bermesra-mesraan, terbukalah matanya. Ya, jalan yang dimaksud terkenal sebagai salah satu tempat nongkrong gay di Jakarta. Apa yang dikatakannya kemudian sungguh membuat penulis tertawa geli, tapi ditahan. Ia berkata, "Sungguh sayang sekali, padahal mereka itu memiliki wajah tampan dan bentuk tubuh yang atletis atletis. Dengan kombinasi dua hal tersebut, mereka akan dengan sangat mudah mendapatkan wanita sebagai pacarnya. Alih-alih menggunakan anugerah fisik yang dimiliki untuk menggaet wanita, mereka malah asik bermesraan dengan sesama laki-laki. Sungguh disayangkan."

"Ha ha ha...", dalam hati penulis tidak kuat menahan tawa. Bagaimana tidak? Ketika kaum hetero menyayangkan seorang pria tampan yang menjadi gay, pada saat bersamaan pria yang disayangkan tersebut merasa bersyukur dianugerahi fisik rupawan sehingga memudahkannya mendapat kencan dengan sesama laki-laki. Penampilan menawan menjadi modal tersendiri dalam bertahan hidup (baca: mendapatkan seks dengan lebih banyak laki-laki) dalam dunia gay. Itulah sebabnya, pria-pria gay kerap berlomba "mempercantik" fisiknya apalagi tujuannya kalau bukan untuk menarik perhatian sesama lelaki. Mau bagaimana lagi, lelaki memang mahluk visual yang lebih mengutamakan kesempurnaan fisik dibandingkan yang lainnya.

Di kesempatan yang lain, seorang teman (kali ini gay tulen) pernah berkata, "Sebaiknya dia menjadi gay." demi melihat seorang lelaki tampan melintas di depan kami. Tentu saja, penulis meng-amin-kan ucapan (yang lebih terdengar sebagai doa dan harapan) tersebut. Bukankah anugerah kesempurnaan fisik yang ia miliki akan lebih banyak dinikmati orang (baca: gay) lain ketika dia menjadi homo dari pada ketika dia menjadi laki-laki hetero? Ingat, wanita adalah makhluk emosional yang lebih menempatkan perasaan di atas segalanya.

Ah, sepertinya tidak ada pilihan bagi para lelaki tampan itu: dengan suka rela menjadi gay atau kalau tidak akan didoakan (atau mungkin dibuat, apapun caranya) agar menjadi gay. Karena itu, berhati-hatilah wahai laki-laki tampan yang belum menjadi gay karena cepat atau lambat saat itu akan segera tiba. Saat dimana kalian menyadari bahwa ketampananmu akan sangat berarti ketika kalian menjadi gay.

Monday, April 06, 2009

THE REASON

Dalam percintaan dunia gay, kamu pasti pernah merasakan desperate karena setelah sekian lama mencari namun the-right-man tak juga kunjung kau temukan. Di saat yang lain, beberapa pria menyatakan cintanya pada waktu hampir bersamaan sehingga kau pun bingung memilih yang mana. Kalkulasi matematis pun kau buat untuk menghitung kekurangan dan kelebihan masing-masing kandidat. Mulai dari siapa yang lebih tampan, lebih perhatian, lebih bisa dipercaya, lebih nyambung diajak ngobrol, lebih romantis, lebih hot di tempat tidur, sampai pada siapa yang lebih besar ukuran alat kelaminnya. Setelah ditabulasi, apakah hasilnya dapat mempermudah kita menentukan pilihan. Ternyata tidak semudah itu.

Kabar buruknya, kita tidak bisa memilih (atau mungkin tidak ada pilihan) paket lengkap: tampan, perhatian, bisa dipercaya, romantis, hebat diranjang, dan tentu saja Mr. P berukuran XL. Yang tersedia adalah tampan tapi tidak bisa dipercaya, romantis tapi kerap mengumbar pesona pada pria lain, hebat di ranjang tapi kurang nyambung bila diajak berkomunikasi, atau memiliki penis di atas rata-rata tapi pola pikirnya masih kekanak-kanakan. Di sinilah kita harus rela mengorbankan satu atau dua kriteria ideal yang karenanya akan sangat mungkin berpeluang menjadi masalah dalam menjalani komitmen dengan lelaki bersangkutan.

Merasa tidak dapat mengambil keputusan sendiri dan perlu mendengarkan second-opinion, kita pun meminta pertimbangan teman terdekat namun hal itu pun tidak banyak membantu. Komitmen untuk menjalani sebuah hubungan yang serius sangat tergantung pada suara hati terdalam kamu. Bisa saja keputusan yang kita ambil kemudian adalah sesuatu yang tidak dapat dimengerti bahkan oleh teman terdekat sekalipun. Mau gimana lagi, toh yang akan menjalani adalah kita sendiri, bukan?

Jadi, laki-laki mana yang akan kau pilih menjadi pacar? Apakah dia yang selalu meluangkan waktu mencurahkan perhatiannya kepadamu? Apakah dia yang selalu membuatmu tersipu dengan segala tingkah pola romantisnya? Apakah dia yang setiap kata-katanya dapat kamu percaya sepenuhnya? Apakah dia yang tahu cara memperlakukan kamu dengan baik di tempat tidur? Atau apakah dia yang ukuran alat kelaminnya membuat air liurmu menetes? It's all up to you.

Friday, April 03, 2009

PRIA-PRIA BERISTRI

Ada satu pertanyaan yang kerap diajukan penulis ketika berkencan dengan pria beristri, "Lebih enak mana; seks dengan laki-laki atau perempuan?" Entah untuk benar-benar mencari tahu fakta mengenai hal tersebut atau entah hanya sekadar memuaskan ego pribadi, penulis merasa perlu mengajukan pertanyaan tersebut. Dan kamu tahu jawabannya? Kebanyakan, pria beristri lebih menikmati seks dengan sesama laki-laki dibanding dengan perempuan yang dalam hal ini notabene adalah istrinya.

Ada beberapa alasan yang mendasari hal tersebut. Pertama, seks dalam sebuah pernikahan tidak lebih dari ritual take-and-give hak dan kewajiban. Ketika seks diposisikan sebagai sebuah kewajiban, maka sudah hampir dapat dipastikan, ritual tersebut dilakukan penuh dengan tekanan dan alakadarnya. Hanya untuk menggugurkan kewajiban, demikian mereka mengistilahkan. Adapun seks di luar (dengan laki-laki, red), lebih dipandang sebagai sebuah kegiatan menyenangkan yang penuh gairah, tantangan, dan petualangan.

Kedua, pernikahan tidak lebih dari sebuah kamuflase. Ketika usia seorang laki-laki telah mencapai 30, telah memiliki pekerjaan yang dipandang dapat menjaminnya secara ekonomi, apalagi yang diharapkan masyarakat dari laki-laki tersebut? Tentu saja menikah dan membina keluarga. Sebagian gay pun kemudian mengambil langkah ini untuk menyembunyikan preferensi seksualnya. Pesta pernikahan bertema look-how-normal-I-am pun digelar, namun kita semua tahu bahwa hal tersebut tidak akan menghalangi petualangannya di dunia homo. Beri dia waktu paling lama tiga bulan untuk mejalani fantasinya sebagai lelaki normal sebelum akhirnya dia akan kembali melirik laki-laki sebagai partner seks.

Ketiga, perselingkuha yang seolah sudah menjadi bagian dari pernikahan saat ini akan dirasa lebih aman ketika dilakukan dengan laki-laki. Ketika sang istri mencium gelagat perselingkuhan via call record atau SMS di handphone, sang suami bisa dengan tenang mengelak. Bilang saja, itu adalah telepon atau SMS dari teman atau saudara jauh. Toh ketika sang istri mengkonfirmasi dengan menghubungi nomor yang dicurigai, di ujung sana suara laki-laki yang akan menjawab. Istri yang tidak terlalu jeli akan percaya saja bahwa SMS mesra barusan adalah ulah lucu-lucuan saja, tidak lebih.

Ah, pria beristri... Mengapa mereka terlihat lebih menggoda dari pria homo lajang? Satu catatan penting: Kencan dengan pria beristri membuat penulis berpikir, pernikahan seperti apa yang nanti akan penulis dijalani ketika menikah suatu hari nanti. Itulah sebabnya, ketika suatu saat menikah nanti, penulis tidak ingin beristri tapi bersuami. If you know what I mean...