Tuesday, May 12, 2009

SEX POLITICS

Dalam dunia politik, kita mengenal statement tidak ada teman ataupun lawan abadi, yang ada hanyalah kepentingan (baca: kemenangan) abadi. Karenanya, semua hal bisa saja terjadi dalam dinamika politik. Saling tikam dan saling jilat bukan merupakan sesuatu yang tabu lagi selama kepentingan bisa terakomodasi. Konsistensi statement politik pun menjadi sebuah keniscayaan langka yang tidak akan kita dapatkan keluar dari mulut para praktisi politik. Tidak heran jika kemudian sebagian orang menganggap bahwa politik adalah dunia kotor yang penuh dengan intrik.

Dalam dunia gay, hal serupa (walau tidak persis sama) terjadi. Terkadang kita harus mempolitisir seks demi mendapatkan kepuasan (baca: kemenangan) pribadi. Terkadang kita harus memusuhi orang yang tidak mau kita ajak nge-seks. Terkadang kita dibuat penasaran dan harus merasakan seks dengan orang yang menjadi musuh kita hanya karena karena salah seorang teman kita yang pernah ML dengan sang musuh tersebut menyampaikan apresiasi berlebihan. Terkadang pula kita harus menolak (walaupun sebenarnya ingin) cinta seorang laki-laki hanya karena dia pernah tidur dengan sahabat dekat kita.

Kamu tentu masih ingat dengan perasaan puas ketika telah all-out memberikan servis seks pada partner kencan-satu-malam yang karenanya kamu pun dipuji dan pada keesokan harinya sang temen kencan tersebut meminta seks dengan kamu lagi? Ya, kamu akan merasakan kemenangan tersendiri ketika (dikarenakan satu dan lain hal misal karena dia bukan tipe lelaki idamanmu) kamu menolak (baik dengan cara lebut maupun kasar) ajakan tersebut. Perasaan sebaliknya akan kamu rasakan ketika kamu merasa senang ML dengan seseorang dan ketika keesokan harinya kamu memintanya lagi dan dia tidak merespon ajakan tersebut. Well, life is a circle. What goes around will comes back aroud.

Di saat yang lain, ketika sedang menjalani sebuah komitmen dengan seorang pacar, kamu pasti pernah merasa kesal karena selama ini keadaan sepertinya membuat seolah-olah kamulah orang yang selalu meminta seks. Ini konyol, bukankah seks adalah sebuah kegiatan yang harus dilakukan atas kemauan berdua? You sick about it and want to make a change, kamu ingin agar pacar kamu menghiba untuk melakukan seks denganmu. Satu malam kamu membuat setting seolah-olah (atau mungkin kamu memang menginginkannya) kamu sangat menginginkan seks. Berbagai rayuan dan rangsangpun kamu lancarkan dan ketika sang pacar telah tebakar birahi (sebelum penetrasi tentu saja), kamu pun menghentikan aksimu dan berlalu. Ketika kemudian sang pacar bertanya kenapa, kamu menjawab tidak sendang ingin ML. Ketika kemudian sang pacar menghiba karena sudah birahi sampai ubun-ubun, dengan ogah-ogahan kamu bilang baiklah tapi dengan satu sarat bahwa seks kali ini dia yang meminta. Ketika kemudian kalian berdua melakukannya dan di pagi hari temanmu bertanya bagaimana seks semalam, kamu memaksa pacarmu untuk bercerita bahwa semalam dialah yang menginginkan seks tersebut.

Itulah sex-politics, sebuah trik yang harus kita mainkan untuk mendapatkan kepuasan selain sensasi seks itu sendiri. Pertanyaannya, apakah ada di antara para praktisi politik itu yang juga seorang gay? Dan kalau ada, apakah politikus handal itu kerap menerapkan konsep sex-politik sehandal mereka bertindak dalam dunia politik? Well, paling tidak penulis mempunyai satu nama yang di mata penulis terlihat seksi dan walaupun dia tidak gay (atau mungkin belum) gay, penulis bisa membayangkan dan berimajinasi ber-sex-pilitics-ria dengan sang politikus. Siapa dia? Demi menjaga nama baik sang politikus, penulis tidak akan menyebutkannya. Yang jelas, dia bukan poltikus karbitan yang memanfaatkan nama besarnya sebagai artis.

1 comment:

Nei said...

Hai....speechless. Extreme sekali!!!! Apakah memang selalu begitu? ckk...ckk...( sambil geleng2 kepala garuk2 tanah ) hahahaha...

Pagi, bro...