Tuesday, October 20, 2009

DILDO; DENGAN KEPALA, TANGAN, DAN KAKI

Apa yang dilakukan seorang gay setelah ML dengan teman kencan one-nite-stand-nya? Mengisahkan cerita ML tersebut kepada teman, tentu saja. Ya, beberapa gank gay menyebut hal itu sebagai reportase yang harus ia sampaikan kepada teman-temannya sebagai tanggung jawab moral. Terlebih jika sang teman kencan didapat dari rekomendasi teman, reportase tersebut menjadi semacam kewajiban sebagai salah satu bentuk tatakrama.

Pertanyaan selanjutnya, apa saja yang dilaporkan dalam reportasi tersebut? Banyak hal, mulai dari penentukan skala ketampanan (dari 1 sampai 10) sang teman kencan, tingkat kemahirannya di atas ranjang, atau (dan ini bagian yang paling menarik) ukuran alat kelamin pasangan kencan. Mengapa hal tersebut mesti dilaporkan? Well, dalam dunia homo, seks bukanlah sesuatu yang tabu untuk dibicarakan. Gay membicarakan seks sama ringannya seperti membicarakan teknik rebonding yang paling jitu, artis siapa yang sedang selingkuh dengan siapa, atau factory outlet mana yang sedang mengadakan diskon gede-gedean. Sounds slut? Well, sorry for being honest.

Mengingat tidak selamanya ML yang dilakukan seorang gay dengan partener seksnya berakhir baik, ritual reportase menjadi sesuatu yang exciting. Di satu kesempatan, seorang gay bisa saja merasa sangat puas dengan seks yang didapatkannya. Di kesempatan yang lain, kencan yang ia rencanakan dengan calon partner seks berakhir berantakan karena ketidakcocokan satu sama lain. Di kesempatan yang lain lagi, seks yang terjadi tidak lebih dari sekadar ritual pelepasan hasrat birahi. Mengapa? Karena ekspektasi yang telalu berlebihan (dan tidak sesuai dengan kenyataan) tentang pasang kencan sementara libido sudah sampai di ubun-ubun. Karenanya, dalam reportase seks kepada temannya, sang gay akan berkata, "Tidak ada yang layak diceritakan. Dia tidak lebih dari dildo-dengan-kepala-tangan-dan-kaki."

Wow! Kalau seorang gay sudah berkata demikian, itu artinya ia telah mengalami bad-date. Alih-alih menikmati seks yang mereka lakukan, ia sibuk menghitung-hitung kekurangan pasangan kencannya. Ya, sang pasangan kencan tengah asik berpeluh dan mendesah, ia malah bergulat dengan alam pikirannya yang berkata, "Kapan semua ini akan berakhir?" Ketika kemudian semuanya berakhir dan sang pasangan kencan menyarankan untuk melakukan ini lagi suatu hari nanti, sang homo hanya akan berkata, "Ya, kapan-kapan." seraya dalam hati berkata, "Whatever...!" Dan selang beberapa menit setelah pasangan kencannya pergi, ia pun akan bercerita tentang dildo-dengan-kepala-tangan-dan-kaki kepada temannya.

Apakah ini sepenuhnya kesalahan sang teman kencan sehingga tanpa sepengetahuannya dia disebut sebagai dildo-dengan-kepala-tandan-dan-kaki? Not really. Ketika seorang gay melakukan seks lagi dan lagi dengan orang yang berbeda-beda, maka sedikit banyak ia akan meningkatkan standar kepuasan seksnya (baca: sexpectasy). Karenanya, ketika ia menemukan partner seks yang biasa-biasa saja (tanpa selling point tertentu), maka sang partner tersebut disebut tidak lebih dari sekadar dildo-dengan-kepala-tangan-dan-kaki.

Jadi, bagi lelaki homo di luar sana yang tidak mau disebut sebagai dildo-dengan-kepala-tangan-dan-kaki, berusahalah untuk selalu meng-up-grade penampilan fisik dan kemampuan di atas ranjang. Why? Because gays talk. Dan kamu tidak mau menjadi bahan obrolan atau mungkin lebih tapatnya gunjingan, bukan?

No comments: