Friday, August 07, 2009

LET’S GET LOUD

Sudah nonton film “Harvey Milk”? Kalau belum, Anda harus segera menyaksikan film tentang perjuangan politisi gay di San Fansisco tersebut. Dalam film yang diangkat dari kisa nyata tersebut, Sean Penn yang memerankan tokoh Harvey Milk, berjibaku memperjuangkan hak-hak kaumnya di parlemen. Tidak mudah tentu saja. Namun demikian, sang politisi tetap gigih berjuang sampai akhirnya suara dan keberadaan kaum gay diakui secara legal-formal.

Menginspirasi. Itulah kata pertama yang ada di kepala penulis setelah menonton film tersebut. Penulis berpikir, “Bukankah sudah seharusnya Indonesia memiliki tokoh (politisi) seperti Harvey Milk?” Ya, kalau melihat banyaknya jumlah gay di kota-kota besar, penulis kerap berpendapat harus ada yang menyuarakan keinginan mereka di parlemen. Suka atau tidak, sudah saatnya keberadaan kaum gay di Indonesia diperhitungkan. Bukan sekadar pekerja salon, desainer pakaian, serta icon banyolan di layar kaca. Gay ada di sekitar kita dan mereka adalah anggota masyarakat yang mempunyai hak dan kewajiban sama seperti warga negara lainnya dan butuh pula untuk dihargai keberadaannya.

Terdengar berlebihan? Tidak juga. Perjuangan kaum gay Indonesia untuk diakui keberadaannya sebenarnya sudah dimulai sejak awal tahun 1980-an. Menurut Dede Oetomo (mbah-nya gay Indonesia) saat itu kaum homo berani menggulirkan wacana keberadaannya, walau secara fisik mereka masih ngumpet. Akhir 1980-an, unjuk eksistensi gay makin kentara seiring dengan kampanye bahaya penyakit AIDS dan pada era setelah reformasi mereka memasuki wilayah politik. Masih menurut dosen sosiolog Unversitas Airlangga Surabaya seperti dituturkan kepada majalah Gatra, fase perjuangan ini ditandai dengan isu yang digelindingkan Partai Rakyat Demokratik bahwa kepentingan kaum gay perlu terwadahi di legislative meski sampai saat ini gaungnya kurang begitu terdengar dan di sinilah kita membutuhkan Harvey Milk-Harvey Milk Indonesia.

Lantas, siapa sosok yang berhak disebut atau paling tidak mendekati profil Harvey Milk di Indonesia? Sepertinya kehadiran sosok ini masih merupakan sebuah mimpi mengingat beberapa tokoh yang dituakan dalam komunitas gay lebih memilih berkecimpung di lembaga sosial kemasyarakatan yang menangani gerakan kewaspadaan HIV/AIDS. Mereka masih belum memandang perlu keterlibatannya di dunia politik sehingga sampai saat ini suara kaum gay hanya akan terdengar sebagai suara kaum minoritas yang hidup dalam dunia under-cover. Pertanyaannya, sampai kapankah dunia homoseksual Indonesia akan seperti sampai sekarang?

Dalam fantasi terliarnya, penulis kerap membayangkan diri sebagai motivator kaum gay untuk tampil menjadi diri sendiri tanpa ada rasa takut cap tidak normal yang mungkin diberikan oleh masyarakat. Tentu saja, untuk disetarakan dengan perjuangan Harvey Milk masih akan jauh tertinggal. Namun demikian, melalui blog ini penulis berusaha menyuarakan opini-opini kaumnya. Ya, kalau bukan kita siapa lagi yang bisa menyuarakan keinginan kaum kita sendiri. Sampai saat ini, penulis memiliki teman blogger yang memiliki kesamaan visi-misi menyuarakan opini kaum gay. Penulis berharap, blog serupa semakin banyak di jagat blog sehingga kalau saat ini kita belum bisa menyuarakan pendapat di dunia nyata, paling tidak di dunia maya kita memiliki komunitas bersuara sama dan jumlahnya layak untuk diperhitungkan.

So gays, let’s get loud!

1 comment:

M. said...

nice toughts
mungkin masih perlu keberanian lebih untuk melangkah spt itu mengingat budaya keluarga kita masih kental, jadi kadang itu jadi hambatan utk maju jadi harvey milk di Indonesoia, belum lagi agamis2 garis keras yg akan dengan mudahnya menyerbu rumah dengan sepasukan batalyon