Tuesday, June 16, 2009

SAVE SEX

Apa yang ada di kepala kamu ketika mendengar frase save-sex? Penggunaan kondom dan setia pada satu pasangan adalah dua dari sekian banyak gambaran umum tentang seks-aman. Bukan bermaksud menihilkan arti penggunaan kondom dan kesetiaan pada satu pasangan (sebagai tindakan preventif penularan berbagai jenis penyakin menular seksual), sepertinya seks aman membutuhkan lebih dari dua hal tersebut di atas. Tidak percaya? We’ll see…

Misal

Suatu saat kamu sedang berdua di tempat tidur dengan pasangan-kencan-semalam-mu. Di awali dengan basa-basi singkat yang kemudian dilanjutkan dengan duduk berdekatan dan bersentuhan, keadaan pun semakin memanas. Yang terjadi kemudian sudah hampir dapat dipastikan. Tiba-tiba HP miliknya berbunyi. Aksi panas yang tengah berlangsung pun terpaksa harus jeda karena dia harus mengangkat telepon. “Ya, sayang…?”, sapanya pada orang diseberang. Tanpa perlu banyak menduga, kita pun tahu bahwa yang menelpon adalah pacarnya. “Aku lagi nganterin Mama belanja.”, terdengar ia berbohong dengan sangan professional. “Ya, nanti aku telepon lagi, ya? Bye.”, pembicaraan pun berakhir dan berdua kalian lanjutkan aksi yang sempat tertunda.

Di sela-sela aksi tersebut, sebuah (atau mungkin lebih) pertanyaan terselip di otakmu. “What? He’s got a boyfriend? What if his boyfriend knew about these?” Pertanyaan tersebut hanya sanggup berada di otakmu selama dua menit pertama karena di menit ketiga dan selanjutnya otakmu sudah sibuk mengolah rangsang seksual yang datang bertubi-tubi. Setelah ejakulasi dan pikiran kembali jernih, kamu pun kembali berpikir bahwa yang telah kamu lakukan adalah sebuah kesalahan yang dapat menyakitkan hari orang lain. Lebih parah lagi kalau hal tersebut diketahui pacar teman-kencan-semalam dan dia melabrakmu. Apa yang akan kamu katakan?

Mengantisipasi hal tersebut, malaikat kecil dalam hatimu berkata, “Makanya, lain kali kalau mendapatkan teman kencan, tanyakan apakah dia suah memiliki pacar atau belum. Kalau jawabannya sudah maka seharusnya kamu menolak ajakannya.” Namun demikian, iblis merah di hatimu tidak mau kalah, “Ah, siapa yang peduli dia suah memiliki pacar atau belum. Toh ini tidak terdengar seperti kalian akan melangsungkan pernikahan, bukan?”

Atau…

Suatu saat kamu mendapatkan teman-kencan-semalam seperti yang kamu idam-idamkan selama ini: tinggi, hitam, cepak, berjenggot, dan tentu saja Mr. P nya berukuran jumbo. Ketika kalian melakukannya, kau pun dibuat kehabisan napas mengimbangi permainan liarnya. Setelah hampir 2 jam, semua baru selesai. Entah disengaja atau tidak, sang teman-kencan-semalam mengucup keningmu dan berkata, “Terima kasih, ya. Kamu hebat di ranjang.” yang membuat hatimu berbunga dan benih-benih cinta pun kemudian tumbuh. Sebelum berpisah, dia berjanji akan datang lagi.

Keesokan harinya, kamu pun mengirim SMS menanyakan kabarnya. Tidak ada jawaban. Berselang dua hari, kamu pun kembali mengirim SMS yang juga tidak dibalas. Ketika kau mencoba menelponnya, suara di seberang malah bertanya, “Ini siapa?” Kamu pun sibuk mengingatkannya dan setelah dia ingat, dia hanya berkata “Oh, ya…” dengan datar. Ketika ditanya “Kapan mau ke tempatku lagi.” dia menjawab “Nanti diatur lagi.” Kamu pun kecewa dan berjanji tidak akan pernah lagi menghubunginya.

Tiga minggu kemudia dia menghubungimu dengan mengirim SMS “Lagi horny euy. ML, yuk!” Tentu saja kamu senang dia menghubungimu lagi. Tapi ketika membaca SMSnya, jelaslah bahwa yang diinginkannya hanyalah seks sehingga kamu pun harus membunuh benih cinta yang telah terlanjur ada. Ketika kemudian kamu pun melakukan seks dengannya untuk kedua, ketiga, keempat, dan kesekian kalinya, hatimu terluka merasa diri hanya sebagai pelampiasan birahi semata.

Pertanyaanya, masihkah kamu berfikir dapat melakukan seks dengan aman? Apakah seks yang aman benar-benar ada? Masihkah sebuah perselingkuhan (meski ketika ML kita menggunakan kondom) dapat dikatagorikan sebagai save-sex? Kalau kondom dapat mencegah kita dari tertular penyakit kelamin, alat kontrasepsi apa yang dapat menghindarkan kita dari luka hati?

Well, sometimes we need to be on danger to make our life more exiting, huh?

1 comment:

Ed said...

Gw fikir tadinya postingan ini akan ngebahas hal yang secara definitif menjelaskan tentang save sex, hingga akhirnya gw sampai ke beberapa paragraf di tengah tulisan kok gw merasa seperti ada yang dibelokkan...

Kalo 'menurut gw pribadi' analisa yang dipake untuk menggambarkan save sex yang dimaksud ditulisan ini lebih menggunakan analisa terbalik. Jadi si pelaku melakukan sex kemudian timbul rasa cinta setelah itu mempertanyakan apakah sex yang barusan dilakukan cukup aman?

Jelas jawaban yang lebih dominan timbul akan lebih mengarah ke jawaban negatif, karena kondisi yang dibentuk 'menurut gw' bermula dari hal negatif. Karena cinta yang timbul secara ngga langsung diukur dari sex kesan pertama atau Love at The first sex kalo katanya Fa, "Love at The First Fuck".

Akan beda lagi kondisinya kalo si pelaku memulai sex dengan pertemuan yang berkesan, mengenali diri masing-masing termasuk availabilitas calon pasangan, ketika satu sama lain merasa cocok dan saling suka kemudian dilanjutkan dengan sex yang juga memberi kesan, maka gw yakin ngga akan ada pertanyaan, "apakah sex yang barusan gw lakukan cukup aman?"

Tapi kondisi itu terlepas kalo salah satu dari pelaku sex itu melakukan cheating yah... misalnya ngaku single padahal udah couple, minimal ada jaminan yang udah dipegang waktu tahap penjajakan berlangsung. Jadi kalo ada tuntutan dikemudian hari si pelaku udah punya senjata untuk menyerang balik. Bukankan manusia yang dipegang omongannya?

Dan kalo ada pertanyaan "masihkah kamu berfikir dapat melakukan seks dengan aman? Apakah seks yang aman benar-benar ada?

Maka gw akan menjawab, 'ADA !!!' kecuali ketika dikaitkan dengan perselingkuhan, hmmm... sesuatu yang dimulai dengan baik-baik umumnya akan menghasilkan sesuatu yang baik-baik juga, atau sebaliknya.

Well, sometimes we need to make our lives could easily be passed as simple as we could, huh?