Thursday, July 10, 2008

WILL YOU MARRY HER?

Apa yang seharusnya dilakukan seorang gay ketika kerabat, kakak, atau bahkan orang tua menjodohkannya dengan seorang perempuan? Mampukah ia menolak (dengan seribu satu alasan) namun tetap menjaga perasaan keluarga serta sang calon istri? Haruskah dia menerima perjodohan tersebut dan akhirnya menikah dalam bayangan kebohongan? Lalu, akankah ia siap menjalani dan mempertahankan kehidupan artifisial keluarga hetero?

Secara simpel, kita bisa menanggapi perjodohan tersebut dengan senyuman dan berkata, "Aku bisa nyari sendiri. Tidak usah dijodoh-jodohkan." Pada kenyataannya, masalah tidak bisa diselesaikan dengan sesimpel itu. Ketika berbicara perjodohan, kita tidak hanya berhadapan dengan pihak keluarga, tapi juga sang calon istri. Sudah menjadi kodrat seorang gay bahwa dia tidak ingin menyakiti hari seorang wanita. Hal inilah kemudian yang membuatnya terbelah antara ingin berbakti pada orang tua (khususnya ibu) dengan mematuhi perintahnya, tidak ingin membohongi sang calon istri, serta mengikuti kehendak hati nurani. Ini adalah permasalahan rumit yang harus dihadapi seorang gay selain menentukan jenis kondom dan pelicin yang paling sesuai.

Rumit? Ya! Mari kita lihat betapa rumutnya proses perjodohan dunia hetero. Sebuah proses perjodohan akan dimulai dengan kalimat pembuka, "Silaturahmi saja dulu." atau "Kenalan saja dulu." Siapa yang bisa menolak silaturahmi dan perkenalan? Tidak ada dan inilah perangkap awal yang menjerat kaki seorang gay dalam jebakan perjodohan. Ketika kemudian sang calon istri diceritakan sebagai seorang wanita yang baik, calon ibu teladan, ramah terhadap keluarga, serta sudah siap untuk menikah, tekanan terhadap kita pun menjadi berlipat ganda. Lagi, siapa yang bisa menolak perempuan seperti ini untuk dijadikan istri? Ini diibaratkan sebgai proses penggiringan agar kita masuk ke dalam perangkap secara suka rela. Proses selanjutnya menjadi lebih rumit manakalah sang calon istri sudah mendekati pihak keluarga. Ia kerap bertandang ke rumah orang tua, berusaha mendekatkan diri dengan kakak dan adik kita, serta ikut terlibat dalam acara-acara keluarga. Ketika kemudian orang tua mengatakan, "Dia calon istri yang cocok buat kamu.", siapa pula yang bisa menghindar?

Kalau sudah begini, sepertinya satu-satunya jalan menyelesaikan masalah perjodohan ini adalah dengan mengatakan ya. Kita bisa saja berpura-pura menyukai perempuan dan berniat menikahi calon istri kita. Apa susahnya? Toh dia juga adalah perempuan baik yang secara sadar ingin mengabdikan dirinya untuk kia, sang calon suami. Kita juga bisa berpura-pura bersikap layaknya laki-laki kebanyakan. Kita bisa menjadi kepala rumah tangga, melakukan perkejaan lelaki seperti membetulkan genteng yang bocor atau melakukan ronda. Akan tetapi, pertanyaanya kemudian adalah, sampai kapan kita mampu berbohong?

Jujur, siapa sih orangnya yang tidak ingin menikah? Siapa yang tidak mau memiliki keluarga dengan orang yang kita cintai? Siapa pula yang tidak ingin memiliki keturunan sebagai penerus silsilah keluarga? Tidak ada! Semua orang menginginkan hal tersebut, termasuk gay sekalipun. Dia akan menikah, membina keluarga, dan memiliki keturunan hanya saja (kalau boleh memilih) tidak dengan perempuan tapi dengan laki-laki yang mencintai dan ia cintai.

Atau - ketika sampai pada proses perjodohan keluarga - ini adalah saat yang tepat bagi kita untuk berkata jujur pada keluarga tentang ke-gay-an kita? Ok, ini bukan alternatif penyelesaian masalah yang tepat karena dapat menimbulkan masalah baru yang bisa saja lebih rumit. Please, do not try this at home.

No comments: