Saturday, February 02, 2008

BE HONEST

Dengan bangga, seorang teman pernah bercerita. “Keluargaku tahu bahwa aku gay, and its ok. There’s nothing to worried about.” Waktu ditanya apa yang melatarbelakangi sampai keluarganya tahu tentang jati dirinya, dengan enteng sang teman berkata, “Aku sengaja memberitahu mereka.” What?! “Ya, aku pengen mereka tahu siapa aku sebenarnya. Its make me relief. Nggak ada lagi yang perlu disembunyikan.” Bagaimana dengan orang tua? “Ah, mereka hanya berpesan agar aku selalu berhati-hati. Dalam segala hal.” At that time, all I can say just, “Wow!”

Another story. Seorang teman bernah dibom! Bagaimana reaksi orang tuanya? Tentu saja mereka shock. Sang teman yang sedang kuliah di luar kota, segera diminta pulang untuk memberikan klarifikasi. Merasa tidak punya pilihan lain, dia akhirnya mengakui ke-gay-annya. Orang tuanya marah besar. Keputusan emosional pun diambil. Sang anak harus pindah kuliah ke kota kelahirannya agar orang tua dapat mengawasi pergaulannya. Selama tiga sampai empat bulan, dia tidak diperbolehkan keluar malam. Setiap akan keluar rumah atau sesampainya di rumah dari bepergian, rentetan interogasi menghujani mukanya. “Pergi ke mana? Pergi dengan siapa? Berbuat apa saja di luar rumah tanpa sepengetahuan orang tua?” Sebagai ungkapan simpati, aku berkata, “Aku turut prihatin.”

Question! Sebenarnya perlu tidak sih jati diri seorang gay diungkap ke dunia luar? Dalam hal ini keluarga menjadi salah satu representasi dunia luar tersebut. What a tough question, ha? Di satu sisi, kita tidak bisa terus berpura-pura berperan sebagai manusia biasa agar dapat diterima dunia luar, dunia hetero. Ketika memperkenalkan diri, ingin rasanya dapat berkata seperti yang dikatakan tokoh sakti dalam scene terakhir film Arisan! “Hey, nama gue Dido dan aku gay.” Orang lain dapat menerima keberadaan kita dan persoalan pun selesai.

Akan tetapi di sisi lain, kita juga tidak sanggup membayangkan reaksi yang mungkin akan terjadi ketika orang-orang dari dunia hetero tahu. Reaksi paling halus yang mungkin terjadi adalah kekagetan yang diikuti respek bercampur perhatian. Ini kalau kita cukup beruntung. Mereka akan berkata, “It’s not right, but it’s ok.” yang kemudian akan dilanjutkan dengan bla bla bla wejangan yang pada intinya menyarankan agar kkalau bisa kita bertaubat. Sedangkan jika kita apes, reaksi paling keras ketika orang lain tahu tentang ke-gay-an kita adalah cacian, pengucilan, sampai tidak kekerasan fisik sebagai reaksi ketidaksetujuan atas jalan hidup yang kita pilih. Ini bisa berlanjut pada depresi yang apabila tidak mendapat penanganan yang tepat dapat berakibat fatal.

Karena itulah, sebagian besar kaum gay lebih memilih menutup rahasianya rapat-rapat. Sebagai alibi, bermacam kamuflase pun dilakukan. Misalnya dengan pernikahan, membina keluarga, dan membesarkan anak. Ada pula yang memilih jalur aman dengan membatasi pergaulan dengan sesama gay dan lebih memfokuskan perhatian pada pendidikan atau pekerjaan. Ketika orang bertanya, “Kok malam minggu tidak ngapel. Mana pacarnya?” atau “Umurmu sudah kepala tiga. Kapan menikah?” cukup dijawab dengan memasang muka plus senyum innocent. Tentu saja sambil berkata, “Belum ketemu yang tepat.” atau “Sedang pengen fokus ke pekerjaan nih. Belum mau diganggu masalah rumah tangga.” Dan orang-orang pun tidak akan bertanya lebih jauh.

Terkadang, serapat apapun kita menyimpan rahasia, suatu saat (di luar kuasa kita) rahasia itu terbongkar juga. Kalau sudah begini apa yang harus dilakukan? Sebagian ada yang berpendapat terlanjut basah, mau diapakan lagi? Dengan bermacam gejolak dalam hatinya dia membeberkan juga rahasia itu. Namun sebagian yang lain dengan mati-matian menyangkal demi keamanan masa depannya. Kalau harus bersumpah demi nama Tuhan, dia akan melakukannya asalkan orang lain mempercayainya. Tanpa disadari, dia telah melakukan tiga kebohongan sekaligus. Pertama, dia membohongi diri sendiri. Kedua, dia membohongi orang-orang di sekitarnya. Dan ketiga, dia menggunakan nama Tuhan untuk menutupi kebohongan yang tidak dapat disembunyikan dari mata-Nya. Sungguh sebuah kekonyolan yang menggelikan bukan?

Satu lagi pertimbangan mengapa gay lebih memilih menyembunyikan identitasnya adalah karena tidak mau melukai perasaan orang tua. Tuhan boleh tahu perbuatan (dan karenanya Dia boleh menghukum) kita, tapi tidak demikian halnya dengan orang tua. Bayangkan, betapa hancurnya perasaan Ayah Ibu kita manakala mengetahui anak yang menjadi kebanggaan mereka ternyata tumbuh tidak sesuai dengan yang mereka harapkan. Bahkan ketika mereka berusaha sekuat tenaga untuk tanang dan berkata, “Kami dapat menerima dan menghargai jalan hidupmu.” dalam hati pasti ada kecewa yang tidak bisa dipungkiri. Karenanya, biarlah mereka beranggapan bahwa anaknya baik-baik saja. Jangan tambahkan satu lagi berat beban pikiran di usia renta mereka.
Tentu saja, adalah hak prerogative setiap gay untuk mengungkapkan ataupun menyembunyikan identitas masing-masing. Ketika seorang gay memilih membuka identitasnya, mereka punya alasan. Demikian halnya ketika seorang gay memilih menyembunyikan identitasnya, mereka juga punya alasan. Satu yang perlu diingat: Ketika kita bisa berbohong tentang identitas kita pada dunia luar, paling tidak jujurlah pada diri sendiri. Katakan pada dirimu sendiri, “Yes, I’m gay and I proud of who I am.” Bukankah dengan menjadi gay kita sudah cukup berdosa? Jangan tambah dosa itu dengan dosa karena telah membohongi diri sendiri. Honey, be honest to yourself. Ok?

No comments: