Wednesday, February 18, 2009

LOVE

Seorang kenalan (gay, tentu saja) pernah bertanya, "Apakah cinta dalam dunia gay itu benar-benar ada?" Mendengar hal tersebut, penulis tersenyum simpati sambil berkata, "Hanya karena kau belum pernah merasakannya, bukan berarti cinta sejati tersebut tidak ada." Terdengar sok berfilsafat memang tapi begitulah kenyataannya.

Ketika dulu (untuk pertama kali) penulis menjalin cinta dengan dia-yang-tidak-boleh-disebut-namanya, penulis tidak terlalu yakin bahwa cinta ini akan seindah sinetron. Kesetriaan yang merupakan harga mati dalam sebuah hubungan percintaan menurut penulis, sepertinya tidak bisa dipenuhi oleh dia-yang-tidak-boleh-disebutkan-namanya. Karenanya, penulis hanya memberikan 70% cintanya pada dia-yang-tidak-boleh-disebutkan-namanya. Benar saja, dia-yang-tidak-boleh-disebutkan-namanya pun berselingkuh dan karenanya tidak ada alasan untuk tidak meninggalkannya.

Penulis sadar, terkadang hidup memberikan pelajaran yang keras. Namun demikian, pelajaran putus cinta waktu itu dirasa terlalu keras sehingga sempat membuat penulis kehilangan kepercayaan akan keberadaan cinta dalam dunia gay. Seiring berjalannya waktu, luka tersebut sembuh namun tetap dengan meninggalkan bekas paranoid. Keadaan ini diperparah dengan kehadiran laki-laki selanjutnya. Kali ini, penulis dipertemukan dengan laki-laki yang merasa nyaman berada dengannya namun tidak mau menjalani komitmen dengan alasan hanya ingin berteman akan tetapi pada saat yang bersamaan ia memporak-porandakan arti pertemanan tersebut. Hati kecil penulis berteriak untuk segera meninggalkannya, namun demikian optimisme mampu merubah pendirian laki-laki yang dimaksud membuat penulis bertahan lebih lama bersamanya.

Untunglah, seks yang ia lakukan dengan salah seorang teman yang penulis kenalkan kepadanya segera terbongkar dan hal ini membulatkan tekadnya untuk menyudahi semua permainan konyol tersebut. Sejak itulah, penulis menutup rapat-rapat pintu hati dan memantapkan dalam hati bahwa tidak akan ada lagi drama dalam hidupnya. Ke depan, dia akan menyandingkan cinta dan logika dalam porsinya yang sama besar. "Inilah dunia gay. Dunia dimana romantika cinta tidak akan terwujud dengan begitu indahnya. Karenanya, ketika percintaan hetero mengagung-agungkan cinta pada pandangan pertama atau cinta seluas samudra atau cinta sehidup semati, cinta hetero harus berpatokan logika kalau tidak ingin terluka karenanya."

Dan orang lelaki ketiga pun datang. Ketika pertama ia menyatakan cinta, sebenarnya penulis tidak terlalu yakin akan bisa lagi menjalani kisah cinta di atas puing-puing kerapuhan hatinya. Namun demikian, toh penulis akhirnya berkata "Ya." ketika sang lelaki ketiga memintanya menjadi pacar. Kisah percintaanpun dimulai. Tanpa menghadapi kendalah yang cukup berarti, perjalanan cinta tersebut genap berusia enam bulan. Sebuah rekor baru bagi penulis, mengingat dua lelaki sebelumnya hanya mampu bertahan tiga dan empat bulan.

Malam itu pun datang, malam dimana sepasang kekasih mengalirkan air mata seakan tiada henti. Ya, malam itu adalah malam perpisahan yang menandai ketidaksepahaman dua keinginan. Sebuah perbedaan yang sudah tidak bisa lagi dijembatani oleh kalkulasi logis yang berujung pada kesadaran dua belah pihak untuk menyudahi kisah cinta demi menjaga hubungan baik di masa mendatang. Dan pada saat itulah, untuk pertama kalinya penulis merasa mencintai dan dicintai dengan sebenar-benarnya.

Kembali kepada sang kenalan. Mendengar jawaban filosofi yang diberikan penulis, sang kenalan hanya bisa nyengir. Well, there's somebody out there for you waiting. All you need to do is just keep looking.

1 comment:

Anonymous said...

em