Tuesday, May 27, 2008

MAMPUKAH DOKTRIN AGAMA MENGHENTIKANNYA?

Kita pernah dikejutkan dengan skandal seks para pastur pedhopile. Bagaimana tidak, pemuka agama yang seharusnya menjadi panutan dalam menerapkan nilai-nilai ilahi ternyata tidak lebih dari seorang maniak. Tidak tanggung-tanggung, korbannya adalah anak di bawah umur yang tidak berdosa. Kecaman pun dilayangkan dari berbagai kalangan. Mulai dari tokoh agama, aktivis perlindungan anak, serta organisasi yang mewadahi orang tua yang anaknya menjadi korban. Intinya, perbuatan pastur tersebut dikutuk keras.

Berita serupa datang dari seorang teman. Penulis mendengar bahwa di pesantren X terdapat tiga santrinya ternyata homo. Bukan hanya itu, masih menurut sang teman, salah satu guru ngaji di sana homo juga. Memang, kabar ini hanya beredar di kalangan tertentu saja. Tapi tetap saja, pesantren yang seharusnya menjadi tempat mencetak orang-orang ahli agama, ternyata toh tidak begitu saja bersih dari praktek yang mereka sebut sebagai kemaksiatan.

Tanda tanya besar kemudian muncul, "Masih ampuhkah doktrin agama menghalangi seorang laki-laki dari menjadi gay?"

Kalau norma sosial masih bisa diabaikan dengan alasan bisa mencari lingkungan sosial lain, maka tidak akan ada satu pun sangsi sosial yang dapat menghentikan seorang laki-laki mencumbu laki-laki lainnya. Apa peduli kita dengan cibiran orang lain. Toh mereka juga tidak sesuci itu. Masing-masing kita memiliki dosa yang mati-matian kita sembunyikan. Sudahlah, jangan terlalu usil dengan urusan orang lain.

Kalau aturan negara masih bisa dikesampingkan dengan alasan masih ada negara lain yang dapat melegalkan pernikahan sesama jenis, maka tidak akan ada lagi yang dapat mengintervensi dua orang gay merayakan cintanya dalam sebuah pernikahan. Bukankah mencintai dan dicintai itu adalah hak setiap manusia, bahkan gay sekalipun. Ketika mereka berkeinginan melegalkan status percintaan mereka dalam pernikahan, tidak ada sedikitpun hak negara mengusili keinginan warganya yang satu ini. Urusilah korupsi, urusilah kenaikan BBM, dan urusilah pelanggaran HAM lainnya yang sampai sekarang tidak kunjung terselesaikan.

Kalau dua norma tersebut masih bisa diabaikan, lantas bagaimana halnya dengan nilai-nilai agama yang berasal dari Tuhan? Berkaca dari dua alinea pertama artikel ini, sepertinya norma agama pun tidak dapat berperan banyak dalam mengebiri ke-gay-an seorang laiki-laki. Bahkan orang-orang yang bergelut dalam bidang agama pun, ternyata masih bisa "kesleo".

Kalau sudah begini, apakah ini berarti pengetahuan agama dan kadar keimanan mereka selama ini menjadi sebuah kesia-siaan? Apakah ini berarti keyakinan dan ketaatan mereka mengerjakan ajaran ilahi menjadi sebuah kenihilan? Well, tidak mudah menjawab pertanyaan yang satu ini. Umum akan dengan mudah mengeluarkan statement, "Ya, percuma saja mereka mendalami ilmu agama."

Apakah betul demikian? Bagaimana kalau sekarang logika berpikirnya kita balik. "Dia memang gay, tapi dia adalah gay yang taat beragama." Dengan demikian, kita tidak akan memandang sebelah mata seorang gay yang taat menjalankan ajaran agamanya. Kita akan dengan positif memandang, "Syukurlah dia masih mau mengerjakan shalat." Atau, "Yang gay saja getol pergi ke tempat ibadah, mengapa kita tidak?" Bukankah hal ini akan menciptakan atmosfir yang sehat?

Dengan cara seperti ini, ke-gay-an seorang laki-laki tidak akan menghalanginya dari keputusasaan mengerjakan perintah agama. Bukan karena dia gay kemudian dia melupakan semua ajaran agama dan keyakinan ketuhannya dimana hal ini akan semakin menenggelamkannya dalam sebuah kubangan, lagi yang mereka sebut sebagai kemaksiatan. Dan sepertinya seorang homo sah-sah saja disebut sebagai gay yang shaleh. Ya, kenapa tidak?


No comments: